Sulteng - Setiap kali harga beras melonjak, pemerintah buru-buru mengumumkan: “stok beras nasional aman dan melimpah”. Kalimat itu terdengar menenangkan, tapi semakin lama justru terasa ofensif. Menenangkan bagi siapa ? Melimpah di mana ? Aman untuk siapa ?
Narasi “stok melimpah” ini seperti topeng. Ia menyembunyikan luka distribusi yang dalam, kegagalan intervensi dan potensi manipulasi data yang sistemik. Stok nasional secara agregat memang bisa tinggi, tapi itu tidak otomatis berarti pasar kenyang dan harga stabil. Di balik angka-angka itu, ada jurang lebar antara makro-data dan realitas mikro di pasar-pasar lokal.
Mari kita telanjangi logikanya. Stok yang disebut melimpah, sering kali adalah stok cadangan (buffer stock) yang belum tentu dilepas ke pasar. Bahkan jika stok itu nyata, ia bisa terkonsentrasi di gudang Bulog atau sentra produksi, bukan di tangan pedagang pasar atau konsumen urban yang terdampak inflasi langsung. Artinya, angka itu bisa benar di atas kertas tapi gagal relevan secara sosial dan ekonomi.
Lebih buruk lagi, data stok beras nasional sering dihitung berdasarkan estimasi, bukan penghitungan riil dari rantai distribusi. Di sinilah celah muncul : ada kemungkinan overstatement, bukan karena niat jahat tapi karena struktur pencatatan dan pelaporan yang tidak transparan. Dalam iklim politik yang sensitif, narasi “stok aman” bisa menjadi alat legitimasi kebijakan dan pengelolaan opini publik.
Sementara itu, pasar tetap berteriak. Harga terus naik. Dan rakyat terus membayar lebih mahal untuk kebutuhan paling dasar : makan. Kita menyaksikan tragedi klasik : negara sibuk menenangkan publik dengan angka, sementara realitas ekonomi menampar wajah orang miskin tiap hari.
Inilah saatnya bicara lebih jujur. Masalah bukan cuma soal stok, tapi distribusi. Rantai pasok pangan di Indonesia terlalu panjang, penuh tengkulak, kartel dan perantara rente yang mengambil margin tanpa nilai tambah. Di sinilah ironi terbesar terjadi : harga naik bukan karena kelangkaan barang, tapi karena kelangkaan akal sehat dalam desain sistem.
Solusinya bukan menambah narasi, tapi membongkar fondasi.
Reformasi rantai pasok mutlak diperlukan: kurangi ketergantungan pada kartel distribusi, beri akses langsung petani ke pasar konsumen.
Bangun sistem distribusi pangan yang digital, real-time, dan transparan, agar publik bisa memantau jalur dan stok beras dari hulu ke hilir.
Dan paling penting, kuatkan produksi lokal dan ketahanan pangan komunitas, agar rakyat tidak terus-menerus menjadi korban dari manipulasi harga yang dibungkus dengan jargon “cadangan aman”.
Selama data dipakai untuk menutupi realitas, bukan memperbaikinya, maka setiap krisis pangan bukan sekadar soal logistik, tapi soal kejujuran negara. (*)
Penulis : Harianto Laode, SH
Social Header