Breaking News

Korupsi adalah Delik Biasa, Bukan Delik Aduan, Ini Dasar Hukum dan Tanggung Jawab APH

Sulteng - Polemik mengenai status pemberitahuan dugaan korupsi sebagai aduan atau laporan kembali mencuat di tengah meningkatnya partisipasi publik dalam pengawasan penggunaan anggaran negara.

Berdasarkan ketentuan hukum, tindak pidana korupsi bukan merupakan delik aduan, sehingga aparat penegak hukum (APH) wajib menindaklanjuti setiap informasi masyarakat tanpa menunggu persetujuan pihak tertentu.

Menurut regulasi yang berlaku, penentuan apakah penyampaian informasi dikategorikan sebagai aduan atau laporan bukan kewajiban pelapor, melainkan penilaian aparat yang menerima informasi, baik kepolisian, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Aparat bertugas menilai kelengkapan unsur pidana sesuai ketentuan perundang-undangan.

Mengacu pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seluruh perbuatan korupsi ditetapkan sebagai delik biasa. Artinya, penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan meski tidak ada permintaan khusus dari pihak yang dirugikan.

Informasi masyarakat yang mengarah pada dugaan korupsi otomatis diperlakukan sebagai laporan dugaan tindak pidana, bukan aduan personal sebagaimana diatur dalam sejumlah pasal delik aduan di KUHP.

Selain UU Tipikor, sejumlah aturan lain menegaskan kewajiban aparat memproses laporan korupsi, di antaranya :

1. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, yang mewajibkan Polri menerima dan menindaklanjuti setiap laporan kejahatan.

2. UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang mengatur tata cara penyelidikan dan penyidikan.

3. Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang menetapkan standar pelayanan Polri terhadap pelapor.

Dengan landasan hukum tersebut, APH tidak memiliki alasan untuk menolak, mengabaikan, atau menunda pemrosesan laporan dugaan korupsi.

Di tingkat daerah, Inspektorat kerap menjadi pintu masuk laporan dugaan penyimpangan anggaran. Namun mekanisme hubungan antara Inspektorat dan penyidik Tipikor telah diatur dalam Peraturan Bersama Mendagri, Jaksa Agung dan Kapolri Tahun 2015 agar laporan masyarakat tidak “dibola pingpong”.

Dalam aturan tersebut ditegaskan pembagian peran :

1. Inspektorat bertugas melakukan audit internal atau pemeriksaan administratif.

2. Penyidik Tipikor menangani aspek pidana dan tidak wajib menunggu audit Inspektorat apabila telah ditemukan indikasi tindak pidana.

Selain itu, Inspektorat tidak berwenang menghentikan proses pidana. Sebaliknya, penyidik juga tidak boleh mewajibkan pelapor kembali ke Inspektorat jika laporan sudah masuk ke Kepolisian. Koordinasi dilakukan antar-instansi, bukan dengan membebani masyarakat atau pelapor.

Aparat penegak hukum yang dinilai mengabaikan laporan, bertindak tidak profesional atau melakukan penyimpangan prosedur dapat dikenai tindakan tegas, antara lain :

A. Sanksi disiplin dan etik berdasarkan PP No. 2 Tahun 2003 serta Perkap No. 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri.

B. Sanksi administratif sesuai UU No. 30 Tahun 2014 apabila menyalahgunakan kewenangan.

C. Sanksi pidana termasuk ancaman maksimal 12 tahun penjara berdasarkan Pasal 21 UU Tipikor jika terbukti sengaja menghalangi proses penyidikan (obstruction of justice).

Masyarakat juga memiliki hak untuk melaporkan dugaan maladministrasi atau pengabaian laporan ke Propam Polri, Ombudsman RI, maupun langsung ke KPK.

Dengan aturan yang jelas, laporan masyarakat mengenai dugaan korupsi seharusnya diproses secara transparan, cepat dan akuntabel.
Koordinasi Inspektorat–Tipikor pada dasarnya dirancang untuk mempercepat penanganan perkara, bukan menciptakan hambatan atau kebingungan di tingkat pelapor.

Negara melalui perangkat penegak hukumnya berkewajiban memastikan setiap laporan masyarakat diproses sesuai ketentuan demi menjaga integritas pelayanan publik. (red)
© Copyright 2022 - MITRAPERS ONENEWS