Gorontalo - Menyikapi penomena yang terjadi belakangan di negeri ini, memantik berbagai tanggapan ataupun kritik dari sejumlah kalangan di masyarakat.
Sebut saja Irfan Kahar, mahasiswa yang juga selaku Sekretaris Jenderal BEM Universitas Ichsan Gorontalo menyampaikan pandangannya sekaligus pesan moril kepada elite negeri ini.
Irfan mengatakan bahwa setiap 17 Agustus dirayakan dengan gegap gempita. Bendera dikibarkan, lomba diadakan, pidato berkumandang dan rakyat diminta mengenang jasa para pahlawan. Namun, di balik semangat nasionalisme itu, terselip pertanyaan yang jarang terucap : apakah kemerdekaan yang kita rayakan benar-benar milik rakyat atau sekadar menjadi alat kekuasaan baru yang menindas dengan cara lebih halus ?
Sejak 1945, Indonesia memang terbebas dari penjajahan fisik bangsa asing. Namun, bentuk penjajahan lain terus menghantui, seperti ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial, krisis sumber daya manusia, perampasan kekayaan alam, krisis pendidikan hingga korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela.
Tak sedikit rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan, sementara segelintir elite menikmati kemewahan yang tak tersentuh hukum. Bahkan kegaduhan yang disebabkan oleh kebijakan yang aneh-aneh dari PPATK seperti memblokir Rekening Tabungan warga negara hanya dengan alasan sporadis hingga berujung menyusahkan rakyat.
Peringatan Hari Kemerdekaan pun kerap menjadi panggung simbolik para penguasa. Di depan rakyat, mereka membacakan pidato tentang persatuan dan cita-cita bangsa. Namun di balik layar, suara-suara kritis dibungkam, aktivis dikriminalisasi dan hak asasi manusia dipinggirkan atas nama stabilitas negara.
Lomba-lomba dan karnaval merah-putih memang meriah. Tetapi, apakah kemeriahan itu mampu menutupi kenyataan bahwa kemerdekaan masih jauh dari cita-cita UUD 1945 ?
Generasi muda diajak mencintai tanah air, namun seringkali tidak diajarkan untuk berpikir kritis tentang bagaimana negara ini dikelola.
Apakah rakyat sudah merdeka jika tidak memiliki kendali atas sumber daya alamnya sendiri ? Apakah rakyat benar-benar bebas ketika kepentingan segelintir oligarki lebih diutamakan daripada suara rakyat ?
Apakah hukum sudah merdeka ketika rakyat sulit menuntut keadilan di tanah airnya sendiri ? Apakah kita masih bisa menyebut ini kemerdekaan jika pajak rakyat digunakan hanya untuk membiayai kemewahan para penguasa ?
Kenyataan ini menegaskan bahwa yang terjadi adalah “merdeka dalam penindasan.”
Oleh karena itu, sudah saatnya 17 Agustus tidak hanya menjadi seremoni tahunan. Momentum ini seharusnya menjadi refleksi bersama tentang siapa yang benar-benar merdeka di negeri ini ? dan siapa yang masih terjajah oleh sistem, kebijakan, bahkan sejarah yang terlupakan ?
Penulis : Irfan Kahar, Sekretaris Jenderal BEM Universitas Ichsan Gorontalo.
Social Header