Sulteng – Nama Hermanius Burunaung dulu lekat dengan perjuangan rakyat kecil. Ia adalah sosok yang berani melawan ketidakadilan, mendampingi warga di tengah sengketa lahan, dan mengangkat suara terhadap dugaan korupsi yang membelit daerah. Namun, kini ia terjebak di pusaran isu dan tuduhan yang membuat publik bertanya: siapa sebenarnya yang ia lawan, dan siapa yang kini berusaha menjatuhkannya?
Dari Simbol Perlawanan ke Sasaran Tuduhan
Sejak awal, jalan yang ditempuh Hermanius bukanlah jalan mulus. Keberaniannya berbicara di depan publik, bahkan terhadap pihak berkuasa, membuatnya dicintai sebagian orang namun juga dibenci oleh mereka yang merasa terusik. Dalam dunia aktivisme, membela rakyat sering berarti melawan arus — dan melawan arus selalu punya harga.
Tahun 2016 menjadi salah satu titik krusial. Ia dituduh membawa senjata tajam oleh Polres Kolaka Utara (Kolut). Tuduhan itu ia bantah keras, menyebutnya sebagai skenario untuk membungkam suaranya. Bagi sebagian orang, kasus ini hanyalah lembar hitam dalam catatan seorang aktivis. Namun, bagi yang paham dinamika di lapangan, ini adalah pola lama: kriminalisasi terhadap mereka yang bersuara lantang.
Isu Penipuan: Antara Fakta dan Serangan Karakter
Belum tuntas membangun kembali reputasinya, tuduhan baru datang lewat media sosial. Hermanius disebut “menggelapkan dana desa” — tuduhan yang bahkan secara logika tidak berdasar, karena ia bukan pejabat desa.
Yang lebih memprihatinkan, tuduhan itu dibumbui serangan personal. Sebuah akun Facebook anonim di grup Info Rakyat Bualemo mengunggah fotonya disertai peringatan: “Harap berhati-hati dengan orang ini, dia penipu.” Serangan seperti ini bukan hanya merusak nama baik, tapi juga bisa memengaruhi persepsi publik tanpa proses hukum yang jelas.
Pertanyaannya: mengapa tuduhan itu muncul, dan mengapa disebarkan lewat akun anonim? Apakah ini murni suara kekecewaan warga, atau justru bagian dari strategi untuk merusak kepercayaan publik terhadapnya?
Aktivis dan Harga Perjuangan
Hermanius mungkin bukan sosok tanpa cela. Tidak ada aktivis yang kebal dari kesalahan. Namun, dalam kasus ini, terlalu banyak kebetulan yang mengarah pada satu pola: setiap kali ia menyentuh isu besar yang menyentuh kepentingan tertentu, selalu saja ada serangan terhadap dirinya.
Kita perlu bertanya lebih jauh: Apakah ini sekadar ujian bagi seorang aktivis, atau bukti nyata bahwa perjuangan melawan ketidakadilan memang selalu dibayar mahal — bahkan dengan nama baik?
Di tengah kabut tuduhan ini, hanya dua hal yang bisa membersihkan: kebenaran yang terungkap dan publik yang mau berpikir kritis. Sampai saat itu tiba, Hermanius tetap menjadi cermin dari dilema para pejuang rakyat: antara idealisme yang ingin terus hidup, dan realitas keras yang berusaha membungkamnya. (red)
Social Header