Oleh: Muhamad Saleh Gasin – Pegiat Hukum
Delapan puluh tahun sudah bangsa ini merdeka. Namun di Banggai Kepulauan, makna kemerdekaan justru dipertanyakan. Saat bendera Merah Putih dikibarkan dengan penuh khidmat pada 17 Agustus 2025, warga di sejumlah desa terjebak dalam kegelapan akibat pemadaman listrik yang terjadi pukul 10.00 WITA.
Ini bukan kejadian tunggal, bukan pula sekadar insiden teknis. Pemadaman berulang, dengan waktu dan durasi tak menentu, telah menjadi pola. Pola yang menimbulkan keresahan sekaligus kecurigaan.
Apakah benar ini murni masalah teknis? Ataukah ada motif tersembunyi "entah permainan anggaran, proyek tambal sulam, atau bahkan praktik penyimpangan" yang membuat rakyat harus terus menjadi korban ?
Listrik bukan hanya soal kenyamanan. Ia adalah hak dasar yang menentukan masa depan : anak-anak tak bisa belajar, layanan kesehatan terganggu, aktivitas ekonomi terhenti, dan keamanan masyarakat terancam. Dalam konteks ini, pemadaman bukan sekadar gangguan, melainkan bentuk nyata dari ketidakadilan struktural.
Ironinya, di tengah gembar-gembor pembangunan dan transformasi digital yang dijanjikan pemerintah, masyarakat Banggai Kepulauan justru merasa hidup sebagai warga kelas dua. Pertanyaannya: untuk siapa sebenarnya kemerdekaan ini ?
Rakyat menuntut jawaban, bukan alasan klise. Audit terbuka atas distribusi listrik, pemeriksaan independen atas pola pemadaman, dan pertanggungjawaban dari PLN serta pemerintah daerah adalah langkah mendesak. Lebih dari itu, negara harus menunjukkan komitmen nyata menghadirkan keadilan energi hingga ke pelosok.
Kemerdekaan sejati bukan diukur dari upacara dan slogan, melainkan dari hadirnya pelayanan publik yang adil, transparan, dan bermartabat. Jika negara terus abai, bukan hanya listrik yang padam, melainkan pula harapan rakyat. (*)
Social Header