Setiap tanggal 17 Agustus, bangsa Indonesia bersatu dalam satu semangat: merayakan kemerdekaan. Tahun 2025 ini, kita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia. Delapan puluh tahun adalah usia yang panjang bagi sebuah bangsa yang lahir dari perjuangan darah, keringat, dan air mata para pendiri negeri.
Kemerdekaan bukan sekadar angka di kalender, bukan pula hanya seremoni upacara bendera. Kemerdekaan adalah ruang bagi kita untuk merenungkan, sudahkah bangsa ini benar-benar merdeka dalam arti sesungguhnya? Sudahkah kita hidup dalam kesejahteraan, kedamaian, serta keberlanjutan bersama alam yang menjadi rahim peradaban?
Dalam refleksi kali ini, saya ingin mengangkat satu pesan sederhana: “Dirgahayu Negeriku ke-80. Kita telah MERDEKA dan 1 kata: biarkan alam melakukan tugasnya.”
Alam, Mitra Peradaban Bangsa
Sejak zaman leluhur, terutama bagi kami masyarakat adat Saluan di tanah Luwuk Banggai, alam selalu dipandang sebagai mitra, bukan objek. Hutan, sungai, laut, dan tanah adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa dipisahkan. Filosofi hidup ini mengajarkan bahwa manusia hanyalah bagian kecil dari jagat raya, bukan penguasa tunggal.
Namun, seiring perkembangan zaman, hubungan manusia dengan alam kerap terganggu. Alam dieksploitasi secara berlebihan demi pembangunan instan. Hutan digunduli, laut tercemar, tanah dikeruk tanpa perhitungan. Akibatnya, kita menyaksikan bencana yang datang silih berganti: banjir, longsor, kekeringan, hingga perubahan iklim yang kian ekstrem.
Di sinilah pentingnya kembali pada kesadaran awal: membiarkan alam menjalankan tugasnya. Alam memiliki hukum dan keseimbangannya sendiri. Bila manusia serakah melampaui batas, maka alam akan “melawan” dengan caranya.
Merdeka dari Ketergantungan Eksploitasi
Ketika para pendiri bangsa mengumandangkan proklamasi pada 17 Agustus 1945, cita-cita mereka sederhana namun mulia: bangsa Indonesia berdiri tegak, berdaulat atas tanah, air, dan seluruh sumber daya yang dikandungnya.
Sayangnya, delapan puluh tahun setelah merdeka, kita masih sering terjebak dalam ketergantungan pada pola pikir eksploitasi. Hutan dianggap hanya bernilai bila ditebang. Laut dianggap bermanfaat bila diekspor hasilnya sebanyak mungkin. Gunung dilihat sekadar tambang yang harus digali.
Padahal, kemerdekaan sejati adalah ketika kita mampu keluar dari ketergantungan itu. Merdeka berarti berani mengatakan cukup pada kerakusan. Merdeka berarti menempatkan kesejahteraan rakyat sejalan dengan kelestarian lingkungan. Merdeka berarti menghargai ruang hidup generasi mendatang, bukan hanya memenuhi nafsu generasi hari ini.
Kearifan Lokal sebagai Jalan Tengah
Sebagai seorang anak Saluan, saya percaya bahwa kearifan lokal memiliki jawaban atas tantangan zaman. Masyarakat adat sejak dahulu telah mengatur pola hidup yang selaras dengan alam. Ada larangan mengambil hasil bumi di luar musimnya, ada hutan larangan yang tidak boleh diganggu, ada tradisi berbagi hasil panen agar tidak menimbulkan kesenjangan.
Kearifan lokal itu sejatinya adalah “konstitusi” alamiah yang menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungannya. Bila nilai-nilai tersebut kita angkat kembali dalam konteks pembangunan nasional, maka Indonesia tidak hanya akan maju, tetapi juga berkelanjutan.
Kita perlu meneguhkan kembali falsafah sederhana: bahwa alam bukan diwarisi dari nenek moyang, melainkan dipinjam dari anak cucu. Maka, kewajiban kita adalah menjaga dan mengembalikan alam dalam keadaan baik, setidaknya sama dengan yang kita terima hari ini.
Tema HUT RI Ke-80 dan Tantangan Masa Depan
Tema besar HUT RI ke-80 tahun 2025 adalah “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Tiga kata kunci dalam tema ini harus dimaknai secara mendalam.
Pertama, bersatu berarti menyingkirkan ego sektoral dalam pembangunan. Pusat dan daerah, pemerintah dan masyarakat, generasi tua dan muda, semuanya harus bergandeng tangan menjaga alam.
Kedua, berdaulat artinya kita berdiri di atas kaki sendiri dalam mengelola sumber daya. Jangan sampai kekayaan alam kita hanya menjadi keuntungan segelintir pihak, sementara rakyat kecil tetap terpinggirkan.
Ketiga, sejahtera adalah tujuan akhir yang hanya bisa dicapai bila pembangunan dilakukan secara adil dan berkelanjutan. Kesejahteraan rakyat tidak akan mungkin tercapai jika alam terus rusak dan bencana terus menghantui.
Dan akhirnya, Indonesia Maju bukan hanya diukur dari gedung pencakar langit atau jalan tol megah. Indonesia maju harus diukur dari seberapa sehat tanahnya, seberapa bersih lautnya, seberapa lestari hutannya, dan seberapa bahagia rakyatnya hidup dalam harmoni dengan alam.
Penutup: Merdeka Bersama Alam
Dirgahayu ke-80 Republik Indonesia bukan hanya ajang untuk mengibarkan bendera merah putih setinggi-tingginya, tetapi juga untuk menundukkan kepala, merenungkan arah perjalanan bangsa ini.
Apakah kita sudah merdeka dari penjajahan gaya baru berupa kerakusan atas alam? Apakah kita sudah benar-benar menghargai bumi pertiwi yang kita sebut tanah air?
Pesan saya sederhana: biarkan alam melakukan tugasnya. Jangan melawan arus kehidupan yang telah ditata oleh Sang Pencipta. Manusia hanya perlu merawat, menjaga, dan mengambil seperlunya. Dengan begitu, kemerdekaan akan terasa utuh—kemerdekaan manusia sekaligus kemerdekaan alam.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-80. Semoga semangat kemerdekaan terus menyala, tidak hanya dalam perayaan, tetapi dalam tindakan nyata menjaga tanah air tercinta. (rin)
Social Header