Liang, Bangkep – Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Kindandal, Kecamatan Liang, Kabupaten Banggai, Aksan Talibas, mengungkapkan dilema yang dialaminya dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan desa. Menurutnya, posisi BPD kerap berada dalam situasi serba salah, terutama ketika menghadapi kebijakan dan program desa yang dinilai tidak berjalan sesuai aturan.
“Kami ini BPD serba salah. Kalau tidak menandatangani APBDes, dianggap menghambat program desa. Tapi kalau ditandatangani, kami disalahkan karena dianggap mendukung program yang tidak tuntas. Jadi kami bingung harus bagaimana,” ujar Aksan saat ditemui wartawan baru-baru ini.
Aksan menyampaikan, selama menjalankan perannya sebagai unsur pengawasan, ia menemukan sejumlah persoalan dalam pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan desa. Salah satunya terkait pelantikan dua aparat desa sebagai pegawai sarah masjid oleh kepala desa pada tahun lalu.
Menurut Aksan, kebijakan tersebut telah ia laporkan dan dikonsultasikan ke Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Banggai. Dari hasil koordinasi, pihak DPMD menyatakan bahwa langkah tersebut tidak dapat dibenarkan.
“Saya sudah koordinasi ke DPMD, dan Kadis mengatakan itu tidak bisa dilakukan. Setelah itu Kadis menelpon Camat, lalu Camat memanggil Kepala Desa. Tapi jawaban dari Kades, katanya mereka hanya pembantu. Padahal di lapangan, mereka justru pelaksana inti,” ungkapnya.
Selain itu, Aksan juga menyoroti pengadaan baliho yang menurutnya tidak pernah dibahas dalam rapat BPD bersama pemerintah desa. Ia menyebut baru kali ini ada baliho yang terpasang, sementara beberapa pekerjaan fisik yang dianggarkan dalam APBDes masih belum selesai.
“Pekerjaan seperti lapangan sepak bola, pagar balai rakyat, dan bak air minum sampai sekarang belum juga rampung. Kalau aparat penegak hukum tidak turun memeriksa, berarti dianggap aman-aman saja,” tegasnya.
Ketika isu dugaan ketidaktertiban pengelolaan APBDes di desanya mencuat ke publik, Aksan awalnya enggan berkomentar. Namun karena menyangkut tanggung jawab moral dan administratif yang melekat pada setiap dokumen anggaran desa, ia akhirnya bersedia memberikan keterangan.
“Saya hanya ingin meluruskan sesuai fakta dan kewenangan kami sebagai BPD. Setiap dokumen APBDes tentu ada tanggung jawab bersama, termasuk fungsi pengawasan yang melekat pada kami,” ujarnya dengan nada tenang.
Aksan juga mengaku prihatin dengan keterbatasan akses informasi yang diberikan kepada BPD. Ia menyebut, pihak kecamatan hanya memperbolehkan BPD mengetahui dokumen APBDes, sedangkan dokumen pendukung lainnya seperti DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran) tidak boleh diakses.
“Saya ini hanya menjalankan amanat undang-undang, terutama pasal 27 huruf A, B, dan C, yang mengatur tentang transparansi kepada masyarakat maupun BPD. Tapi pihak kecamatan malah bilang BPD hanya boleh tahu APBDes, yang lain tidak boleh. Katanya itu cuma urusan inspektorat,” jelasnya.
Bahkan dalam satu kesempatan, Aksan sempat mempertanyakan langsung kebijakan tersebut. Ia menilai pembatasan informasi semacam itu bertentangan dengan semangat keterbukaan yang diatur dalam perundang-undangan.
“Kenapa perwakilan camat justru melarang kami menerima dokumen selain APBDes? Bukankah semua dokumen harus terbuka dan tidak boleh disembunyikan dari BPD? Saya cuma minta penjelasan yang benar. Jangan menelpon kami saat rapat, karena ini persoalan penting,” ujarnya menirukan penyampaiannya dalam forum.
Aksan menilai, jika pengawasan hanya berhenti di tingkat Inspektorat, maka banyak persoalan yang tidak akan pernah terselesaikan.
“Sekarang saya minta supaya dari KPK atau Tipikor yang turun langsung memeriksa dokumen-dokumen itu. Kalau cuma inspektorat, ya aman-aman saja. Tidak ada realisasi, tidak ada tindak lanjut,” ujarnya.
Lebih jauh, Aksan menegaskan bahwa kondisi dilematis yang ia alami bukan hanya terjadi di desanya. Hampir semua BPD, kata dia, menghadapi persoalan serupa dalam menjalankan fungsi pengawasan dan transparansi di tingkat desa.
“Apa yang kami alami di Kindandal ini bukan hal baru. Banyak BPD juga merasakan hal sama — dibatasi dalam informasi, disalahkan kalau tegas, tapi juga disorot kalau diam. Karena itu kami minta pemerintah agar konsisten menjalankan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta seluruh aturan turunannya. BPD harus diberi ruang yang jelas sesuai tugas dan kewenangannya,” tandas Aksan.
Ia berharap, lembaga pengawas dan aparat penegak hukum dapat menindaklanjuti berbagai temuan di desa agar tata kelola pemerintahan berjalan lebih transparan dan akuntabel, serta benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat.
Sampai berita ini diterbitkan, belum diperoleh keterangan resmi dari pihak Pemdes, Dinas PMD maupun Pemerintah Kecamatan Liang terkait persoalan tata kelola APBDesa dan pemerintahan di Desa Kindandal. (red)
Social Header