Oleh : Firman Lapi
Lahirnya Daerah Otonomi Baru (DOB) bukan perkara sederhana. Undang-undang telah menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi: persyaratan dasar, persyaratan administratif, dan persyaratan teknis. Pertanyaannya, apakah fakta di lapangan menunjukkan daerah yang hendak dimekarkan telah memenuhi ketiga syarat tersebut?
DPRD Provinsi Sulawesi Tengah memang telah memberikan persetujuan atas rencana pembentukan DOB Tompotika. Namun, persoalan berikutnya jauh lebih serius: apakah Pemerintah Kabupaten benar-benar siap mewujudkan pemekaran ini? Indikasi di lapangan justru berbanding terbalik. Infrastruktur pemerintahan nyaris tidak tersedia. Kantor pemerintahan, gedung DPRD, Polres, dan fasilitas pendukung lain hingga kini belum jelas keberadaannya.
Keputusan DPRD provinsi yang menyetujui DOB di wilayah yang belum memenuhi syarat dasar, administratif, maupun teknis tentu saja mengundang tanda tanya. Alih-alih sebagai langkah strategis, keputusan ini justru tampak terburu-buru dan berpotensi merugikan masyarakat luas.
Pertama, syarat dasar seperti jumlah penduduk, kemampuan ekonomi, dan potensi wilayah merupakan fondasi utama kelayakan DOB. Jika aspek ini diabaikan, yang lahir bukanlah daerah otonom yang mandiri, melainkan entitas administratif yang rapuh dan sangat bergantung pada dana transfer pusat.
Kedua, syarat administratif dan teknis bukanlah sekadar formalitas. Kesiapan infrastruktur, tata kelola pemerintahan, dan ketersediaan sumber daya manusia adalah instrumen agar DOB dapat berjalan efektif. Mengabaikannya sama saja dengan membangun rumah tanpa pondasi.
Ketiga, dalam konteks nasional, efisiensi anggaran menjadi tantangan serius. Dengan kondisi fiskal yang terbatas, prioritas seharusnya diarahkan pada penguatan pelayanan publik di daerah yang sudah ada. Membuka pos-pos birokrasi baru hanya akan menyerap belanja pegawai, biaya operasional, dan pembangunan infrastruktur dasar dari titik nol.
Keputusan DPRD ini memperlihatkan lemahnya fungsi representasi dan pengawasan. Lebih jauh, menimbulkan pertanyaan mengenai motif politik di balik persetujuan tersebut. Alih-alih menghadirkan pemerataan pembangunan, kebijakan DOB yang dipaksakan justru berpotensi menjadi beban fiskal baru yang jauh dari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. (*)
Social Header